WISATA MANFAAT

Menuangkan informasi tentang kepariwisataan Indonesia yang kaya akan keragaman alam dan budaya. Turut pula memberikan kemudahan dalam melayani customer wisata (tourist) baik domestik maupun internasional untuk welcome (datang) ke Indonesia. Dimulai dari Malang Raya menyebar hingga Nusantara

Senin, 01 Mei 2017

Hijrah ke Habasyah



KAJIAN SEJARAH KEHIDUPAN RASUL MUHAMMAD S.A.W
“Hijrah Para Sahabat ke Habasyah”
Oleh Ust. Abdullah S Hadhromi / Masjid Abdullah Permata Jingga Kota Malang
Tanggal: Senin, 5 Sya’ban 1438 / 1 Mei 2017

Apabila kita membaca buku tentang Sirrah (Sejarah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallami maka seringkali kita sering mendengar kata Darul Arqam. Ad-Daar artinya adalah rumah, sedangkan Arqam merupakan pemilik rumah bernama Arqam bin Abi al-Arqam, sehingga makna dari Darul Arqam adalah Rumahnya Al-Arqam. Rumah Al-Arqam dipilih oleh Rasulullah pada tahun ke 5 kenabian untuk tempat dakwah secara sembunyi-sembunyi. Tempat menyampaikan Al-Qur’an beserta kandungannya serta tempat menempa iman para sahabat.
Pada tahun ke 5 kenabian pada saat itu Kaum Muslimin masih berada di Mekah dengan situasi yang sangat sulit untuk bergerak. Darul Arqam dipilih sebagai tempat yang tepat untuk berdakwah dengan pertimbangan tempat tersebut tidak memancing perhatian orang-orang Kafir Quraisy, tempat yang sangat jauh dari perkampungan Kaum Kuraisy di kaki Bukit Shafa.
Tempat tersebut dijadikan sebagai tempat berkumpul para sahabat dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan ayat-ayat Allah. Dari peristiwa Darul Arqam ini, kita dapat memetik faedah pentingnya Kaum Muslimin juga memiliki tempat berkumpul dalam rangka meningkatkan iman dan takwa, mengkaji kitab Allah (Al-Qur’an) dan juga memahami makna di dalamnya. Zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di tahun ke 5 kenabian tentu tidak dapat disamakan dengan saat ini yang sudah tersebar banyak masjid. Namun, apabila situasi dan kondisi mengharuskan kita sebagaimana jaman itu, kita tentu pula meniru Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk juga sekuat mungkin membuat sebuah perkumpulan rahasia guna menyusun keimanan dan strategi dakwah.
Saat ini bisa dikatakan bahwa masjid merupakan sebuah pengejewantahan dari Darul Arqam itu sendiri. Pengejewantahan Darul Arqam juga tidak hanya di masjid saja namun juga di masjid, di aula pertemuan, maupun di tempat lain yang layak untuk mengkaji sebuah kitab Agama Islam.
Jaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kitab yang dibahas hanyalah satu saja, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an), maka dari itu generasi para sahabat disebut sebagai generasi Qur’ani satu-satunya, karena yang mereka pelajari langsung Kitabullah dari sumbernya yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dijelaskan secara langsung oleh beliau sekaligus diberikan contoh dan tauladannya secara langsung.
Mengkaji kitab Allah ini sangat penting dan perkumpulan untuk mengkajinya bersama-sama ini juga sangat penting untuk meningkatkan iman kita. Karena aqidah ahlusunnah wal jamaa’ah meyakini bahwa iman dapat naik dan dapat turun karena asbabnya. Sebagaimana kisah yang masyhur tentang Handzollah yang merasa dirinya munafik, merasa bahwa iman meninggi saat bersama dengan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wa sallam namun menurun saat bekerja, berkumpul keluarga dan melakukan aktivitas lainnya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membantah bahwa itu adalah sifat munafik, namun itu adalah kewajaran. Kewajaran bahwa iman bisa naik dan iman bisa turun sesuai dengan asbab yang ada dan masing-masing ada saat-saatnya.
Lama kelamaan, keberadaan Darul Arqam juga diketahui oleh orang-orang Kafir Quraisy. Keadaan makin sulit dan karena kekhawatiran penindasan yang semakin besar maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan para sahabatnya untuk Hijrah ke tempat yang ditentukan oleh Malaikat Jibril, yaitu Habasyah (Sekarang Negara Ethiopia). Diberitahukan bahwa di negara Habasyah terdapat negara dengan raja yang adil bergelar Najasy (Para Ulama menyatakan bahwa Najasy adalah Gelar namun ada juga yang menyatakan itu adalah Nama Raja tersebut:red).
Rasulullah bersabda, “Wahai para sahabatku, di negeri Habasyah ada seorang raja yang tidak mendzalimi rakyatnya, silahkan kalian berangkat ke sana semoga Allah memberikan ketenangan.” Berangkatlah Muhajirin gelombang pertama berjumlah 12 orang laki-laki dan perempuan, salah satunya adalah Sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bersama istrinya Ruqayyah binti Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Dimana Sahabat Utsman yang mendapat gelar Dzun Nurrain wa Hijratain adalah karena menikahi dua puteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus melakukan dua kali Hijrah ke tempat yang berbeda yang diperintahkan, yaitu ke Habasyah dan ke Madinah. Mereka berangkat di malam hari melalui jalur laut yang sebelumnya mereka harus pergi ke pelabuhan yang ada di Jeddah.
Kemudian berangkat lagi rombongan gelombang ke dua dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Melihat jumlah Muhajirin yang semakin banyak, membuat Kafir Quraisy harus mengembalikan mereka ke Mekah. Akhirnya diutuslah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah untuk menghadap Najasy dengan harta yang sangat banyak sebagai hadiah (tepatnya sogokan untuk kalangan istana).
Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah setelah menyerahkan harta yang banyak kepada para menteri dan pembesar kalangan istana mengatakan, “Telah datang ke negeri engkau anak-anak yang bodoh-bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama nenek moyang kami, serta memecah belah persatuan. Maka tatkala kami berkata kepada raja, dukunglah kami” Para menteri dan kalangan kerajaan pun setuju untuk mendukung kedua kafir Quraisy tersebut.
Setelah menghadap Najasy, maka Amr bin Ash mengatakan, “Wahai Raja, sesungguhnya telah datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui (agama yang menyesatkan). Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk kepada agamamu. Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami, agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada mereka.”
Najasy pun kemudian meminta perwakilan kaum Muslimin untuk menghadap, dipilihlah Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara mereka. Ja’far mengatakan setelah ditanya Najasy, “Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata, menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji, memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami, akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Raja Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca surat maryam.
Ketika mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak akan aku serahkan kepada kalian!”
Ketika kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu berita yang bisa membuatnya marah.”
Maka keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja, sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu perkataan yang besar!”
Raja Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.
Bertanyalah Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi berkata, “Apa yang dia katakan?”
Ja’far menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang  Dia berikan kepada Maryam yang suci.”
Mendengar hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi  Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian, dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan disiksa.” Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.” Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan apa yang mereka niatkan.
Raja Najasy akhirnya masuk ke dalam Islam secara sembunyi-sembunyi karena tekanan fihak istana yang tidak menginginkannya masuk Islam, namun hati dan keinginannya untuk memeluk Islam diterima Allah, dan Jibril pun memberitahukan kepada Rauslullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Najasy wafat, tidak ada yang mensholatinya maka diperintahkannya para sahabat untuk mensholati Najasy bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di sinilah dasar melaksanakan shalat ghoib.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Kolom Komentar

Livechat