KAJIAN
SEJARAH KEHIDUPAN RASUL MUHAMMAD S.A.W
“Hijrah
Para Sahabat ke Habasyah”
Oleh Ust.
Abdullah S Hadhromi / Masjid Abdullah Permata Jingga Kota Malang
Tanggal: Senin,
5 Sya’ban 1438 / 1 Mei 2017
Apabila
kita membaca buku tentang Sirrah (Sejarah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallami maka seringkali kita sering mendengar kata Darul Arqam. Ad-Daar
artinya adalah rumah, sedangkan Arqam merupakan pemilik rumah bernama Arqam bin
Abi al-Arqam, sehingga makna dari Darul Arqam adalah Rumahnya Al-Arqam. Rumah
Al-Arqam dipilih oleh Rasulullah pada tahun ke 5 kenabian untuk tempat dakwah
secara sembunyi-sembunyi. Tempat menyampaikan Al-Qur’an beserta kandungannya
serta tempat menempa iman para sahabat.
Pada
tahun ke 5 kenabian pada saat itu Kaum Muslimin masih berada di Mekah dengan
situasi yang sangat sulit untuk bergerak. Darul Arqam dipilih sebagai tempat
yang tepat untuk berdakwah dengan pertimbangan tempat tersebut tidak memancing
perhatian orang-orang Kafir Quraisy, tempat yang sangat jauh dari perkampungan
Kaum Kuraisy di kaki Bukit Shafa.
Tempat
tersebut dijadikan sebagai tempat berkumpul para sahabat dan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan ayat-ayat Allah. Dari peristiwa Darul
Arqam ini, kita dapat memetik faedah pentingnya Kaum Muslimin juga memiliki
tempat berkumpul dalam rangka meningkatkan iman dan takwa, mengkaji kitab Allah
(Al-Qur’an) dan juga memahami makna di dalamnya. Zaman Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam di tahun ke 5 kenabian tentu tidak dapat disamakan dengan
saat ini yang sudah tersebar banyak masjid. Namun, apabila situasi dan kondisi
mengharuskan kita sebagaimana jaman itu, kita tentu pula meniru Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam untuk juga sekuat mungkin membuat sebuah perkumpulan
rahasia guna menyusun keimanan dan strategi dakwah.
Saat
ini bisa dikatakan bahwa masjid merupakan sebuah pengejewantahan dari Darul
Arqam itu sendiri. Pengejewantahan Darul Arqam juga tidak hanya di masjid saja
namun juga di masjid, di aula pertemuan, maupun di tempat lain yang layak untuk
mengkaji sebuah kitab Agama Islam.
Jaman
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kitab yang dibahas hanyalah satu
saja, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an), maka dari itu generasi para sahabat disebut
sebagai generasi Qur’ani satu-satunya, karena yang mereka pelajari langsung
Kitabullah dari sumbernya yaitu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
dijelaskan secara langsung oleh beliau sekaligus diberikan contoh dan
tauladannya secara langsung.
Mengkaji
kitab Allah ini sangat penting dan perkumpulan untuk mengkajinya bersama-sama
ini juga sangat penting untuk meningkatkan iman kita. Karena aqidah ahlusunnah
wal jamaa’ah meyakini bahwa iman dapat naik dan dapat turun karena
asbabnya. Sebagaimana kisah yang masyhur tentang Handzollah yang merasa dirinya
munafik, merasa bahwa iman meninggi saat bersama dengan Rasulullah Salallahu
‘alaihi wa sallam namun menurun saat bekerja, berkumpul keluarga dan
melakukan aktivitas lainnya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
membantah bahwa itu adalah sifat munafik, namun itu adalah kewajaran. Kewajaran
bahwa iman bisa naik dan iman bisa turun sesuai dengan asbab yang ada dan
masing-masing ada saat-saatnya.
Lama
kelamaan, keberadaan Darul Arqam juga diketahui oleh orang-orang Kafir Quraisy.
Keadaan makin sulit dan karena kekhawatiran penindasan yang semakin besar maka
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkan para sahabatnya
untuk Hijrah ke tempat yang ditentukan oleh Malaikat Jibril, yaitu Habasyah
(Sekarang Negara Ethiopia). Diberitahukan bahwa di negara Habasyah terdapat negara
dengan raja yang adil bergelar Najasy (Para Ulama menyatakan bahwa Najasy
adalah Gelar namun ada juga yang menyatakan itu adalah Nama Raja tersebut:red).
Rasulullah
bersabda, “Wahai para sahabatku, di negeri Habasyah ada seorang raja yang tidak
mendzalimi rakyatnya, silahkan kalian berangkat ke sana semoga Allah memberikan
ketenangan.” Berangkatlah Muhajirin gelombang pertama berjumlah 12 orang
laki-laki dan perempuan, salah satunya adalah Sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu bersama istrinya Ruqayyah binti Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam. Dimana Sahabat Utsman yang mendapat gelar Dzun Nurrain wa
Hijratain adalah karena menikahi dua puteri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam sekaligus melakukan dua kali Hijrah ke tempat yang berbeda yang
diperintahkan, yaitu ke Habasyah dan ke Madinah. Mereka berangkat di malam hari
melalui jalur laut yang sebelumnya mereka harus pergi ke pelabuhan yang ada di
Jeddah.
Kemudian
berangkat lagi rombongan gelombang ke dua dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
Melihat jumlah Muhajirin yang semakin banyak, membuat Kafir Quraisy harus
mengembalikan mereka ke Mekah. Akhirnya diutuslah Amr bin Ash dan Abdullah bin
Abi Rabi’ah untuk menghadap Najasy dengan harta yang sangat banyak sebagai
hadiah (tepatnya sogokan untuk kalangan istana).
Amr
bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah setelah menyerahkan harta yang banyak
kepada para menteri dan pembesar kalangan istana mengatakan, “Telah datang ke
negeri engkau anak-anak yang bodoh-bodoh dari kaum kami yang keluar dari agama
nenek moyang kami, serta memecah belah persatuan. Maka tatkala kami berkata
kepada raja, dukunglah kami” Para menteri dan kalangan kerajaan pun setuju
untuk mendukung kedua kafir Quraisy tersebut.
Setelah
menghadap Najasy, maka Amr bin Ash mengatakan, “Wahai Raja, sesungguhnya telah
datang di dalam kerajaanmu orang-orang yang rendah dari kaum kami. Mereka
datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami ketahui atau engkau ketahui
(agama yang menyesatkan). Mereka keluar dari agama kami, tidak pula masuk
kepada agamamu. Dan orang-orang yang mulia di antara kami telah mengutus kami,
agar engkau mau mengembalikan mereka kepada kami dan mereka lebih mengetahui
akan apa yang telah mereka perbuat,” maka Najasyi menoleh kepada para
menterinya dan berkatalah mereka, “Benar wahai Raja. Sesungguhnya kaum mereka
lebih mengetahui tentang mereka. Maka kembalikanlah orang-orang tiu kepada
mereka.”
Najasy
pun kemudian meminta perwakilan kaum Muslimin untuk menghadap, dipilihlah Ja’far
bin Abu Thalib sebagai juru bicara mereka. Ja’far mengatakan setelah ditanya
Najasy, “Maka berkatalah Ja’far bin Abi Thalib, “Wahai Raja, kami dahulu adalah
orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melaksanakan
perbuatan keji, memutus silaturrahim, berbuat jelek kepada tetangga, yang kuat
menekan yang lemah dan kami tetap berada dalam keadaan demikian, sampai Allah
mengutus kepada kami seorang Rasul yang kami mengetahui nasabnya, kejujurannya,
keamanahannya dan sangat memelihara diri. Dia mengajak kami agar beribadah
hanya kepada Allah dan meninggalkan patung-patung yang disembah oleh nenek
moyang kami. Dia juga memerintahkan kepada kami agar jujur dalam berkata,
menunaikan amanah, menyambung silaturrahmi, meninggalkan perbuatan keji,
memelihara darah, dan melarang kami dari berkata dusta, memakan harta anak
yatim, menuduh wanita yang shalihah dengan perbuatan zina serta memerintahkan
kami agar mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan.
Maka kami membenarkannya, beriman kepadanya, dan mengikuti apa yang dibawanya
dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa
yang diharamkannya. Wahai Raja, ketika kaum kami mengetahui tentang apa yang
kami lakukan, mereka memusuhi kami, menyiksa kami dengan siksaan yang berat dan
berusaha mengembalikan kami kepada agama nenek moyang, dan agar kami kembali
menyembah berhala. Maka tatkala mereka terus menekan kami, memaksa kami,
akhirnya kami memilih engkau dari yang lainnya dan kami sangat berharap engkau
berbuat baik kepada kami dan tidak menzalimi kami.”
Raja
Najasyi kembali bertanya kepada Ja’afar, “Apakah engkau memiliki apa yang
dibawa oleh Nabimu dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Raja Najasyi
memerintahkan, “Bacakanlah untukku!” Ja’far pun membaca surat maryam.
Ketika
mendengar ayat tersebut, menangislah Raja Najasyi, sehingga air matanya
membasahi jenggotnya. Menangis pula para menterinya, sehingga basah buku-buku
mereka. Dan Najasyi berkata, “Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian
dan apa yang dibawa oleh Isa bin Maryam merupakan satu sumber.” Najasyi menoleh
kepada Amru bin Ash dan berkata, “Pergilah kalian! Demi Allah, mereka tidak
akan aku serahkan kepada kalian!”
Ketika
kami keluar dari Istana Najasyi, Amru bin Ash mengancam kami dan berkata, “Demi
Allah, besok pagi aku akan menemuinya lagi. Akan aku kabarkan dengan satu
berita yang bisa membuatnya marah.”
Maka
keesokan harinya, mereka kembali menemui Raja Najasyi dan berkata, “Wahai Raja,
sesungguhnya orang yang engkau lindungi itu mengatakan tentang Isa, suatu
perkataan yang besar!”
Raja
Najasyi kembali memanggil kami, hingga kami merasa khawatir dan takut. Sebagian
kami bertanya-tanya, “Apa yang akan kita katakan kepadanya tentang Isa bin
Maryam?” Akhirnya kami bersepakat untuk mengatakan tentang Isa, sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
kembali menunjuk Ja’far sebagai juru bicara. Kemudian kami datang untuk menemui
Najasyi. Kami dapatkan Amru bin Ash telah berada di sana bersama temannya.
Bertanyalah
Najasyi, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far
menjawab, “Kami mengatakan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi kami.”
Najsyi
berkata, “Apa yang dia katakan?”
Ja’far
menjawab, “Dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya Ruh-Nya, kalimat-Nya, yang Dia berikan kepada Maryam yang suci.”
Mendengar
hal tersebut, Najsyi memukul meja sembari berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakannya sesuai dengan
keadaan Isa bin Maryam. Pergilah kalian dengan aman. Siapa yang mencela kalian,
dia adalah orang yang merugi. Dan siapa yang mengganggu kalian, dia akan
disiksa.” Kemudian Najasyi berkata kepada para menterinya, “Kembalikanlah
hadiah-hadiah itu kepada dua orang ini, karena aku tidak butuh kepadanya.”
Akhirnya keduanya keluar dengan perasaan sedih, karena tidak berhasil melaksanakan
apa yang mereka niatkan.
Raja
Najasy akhirnya masuk ke dalam Islam secara sembunyi-sembunyi karena tekanan
fihak istana yang tidak menginginkannya masuk Islam, namun hati dan
keinginannya untuk memeluk Islam diterima Allah, dan Jibril pun memberitahukan
kepada Rauslullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Najasy wafat,
tidak ada yang mensholatinya maka diperintahkannya para sahabat untuk
mensholati Najasy bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di
sinilah dasar melaksanakan shalat ghoib.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar