ETIKA
SEORANG MUSLIM
“Etika
Menjenguk Orang Sakit”
Kajian di
Masjid Al-Ghifari, Griya Shanta Jl. Soekarno Hatta Kota Malang
Oleh: Ust.
Abdullah Shalih Hadhromi
Tanggal: 7 Sya’ban
1438 H / 3 Mei 2017
Islam
adalah merupakan konsep hidup yang Syamil dan Kamil yaitu universal
(mencangkup semuanya) dan sempurna termasuk dalam menjenguk orang yang sakit. Adab-adab
orang menjenguk orang sakit adalah:
1. Hendaknya tidak berlama-lama dalam
berkunjung atau menjenguk serta mencari waktu yang tepat untuk berkunjung dan
tidak menyusahkan orang yang sakit bahkan berupaya untuk menghibur dan
membahagiakannya.
Kita tidak perlu berlama-lama dalam menjenguk orang sakit, poin
utamanya kita menunjukkan kepedulian kepadanya atas sakitnya, dikecualikan bila
memang yang sakit meminta kita berlama-lama dengannya maka kita hendaknya
menuruti permintaannya.
Hal yang perlu diperhatikan juga harus melihat dan memperkirakan
waktu berkunjung yang tepat, yaitu tidak di waktu istirahatnya atau waktu dimana
orang yang sakit sedang melakukan aktifitas yang tidak dapat diganggu oleh
orang lain selain orang-orang tertentu. Selain itu penjenguk juga harus
menghibur yang sakit bahkan menyenangkan dan berusaha membahagiakan yang sakit.
2. Hendaknya mendekat kepada yang sakit dan
menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakan/dideritakannya, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Disunnahkan untuk penjenguk mendekat kepada yang sakit, dikecualikan
bila memang Si Sakit menderita penyakit yang menular atau pada saat tidak dapat
dikunjungi dari dekat.
Kita juga memperhatikan bahwa tabiat/sifat orang berbeda-beda, ada
orang sakit yang apabila dijenguk senang, namun adapula orang yang sakit namun
orang tersebut tidak senang apabila orang mengetahui dirinya sakit apalagi
menjenguknya sehingga dia tidak ingin dijenguk.
Menghadapi hal ini maka kita harus peka terhadap tabiat Si Sakit,
kalau memang Si Sakit bertabiat tidak senang dijenguk, maka kita tidak perlu
menjenguknya, hal ini karena bertentangan dengan tujuan menjenguk Si Sakit
yaitu menghiburnya, namun dengan kedatangan kita, maka Si Sakit malah semakin
menderita dan tidak nyaman dan ini dihindari.
3. Mendoakan semoga cepat sembuh, dibelas
kasihi Allah, dan disehatkan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya bila menjenguk orang
sakit beliau mengucapkan Laa ba’sa, taghurun insya Allah (Tidak mengapa,
menjadi penggugur dosa insyaa Allah).” (Hadits Riwayat Bukhari) dan berdoa untuk
oran sakit tiga kali sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam.
Boleh juga berdoa dengan doa yang lebih mudah, yaitu “Allahumma
Isyfi Fulan/ah (3x)” (Wahai Allah, sembuhkan Si Fulan/ah (3x)).
4. Mengusap orang yang sakit dengan tangan
kanannya dan berdoa (artinya) “Hilangkan kesengsaraan dari penyakit ini Wahai
Rob manusia, sembuhkanlah Engkau adalah Maha Penyembuh. Tiada kesembuhan
kecuali kesembuhan dariMu, sembuhkanlah dengan kesembuhan yang tidak ada
penyakit lagi.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Mengusap orang yang sakit, maksudnya mengusap bagian yang terasa
sakit pada Si Sakit.
Orang yang beriman tidak pernah berputus asa dalam doa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana kita dapat menarik pelajaran dari Nabi
Zakaria, sebagaimana beliau sudah sangat tua namun tidak pula diberikan anak.
Secara logika beliau tidak mampu untuk memiliki anak di usia itu, karena istrinya
pun juga sudah tidak produktif lagi. Tetapi beliau tidak pernah berputus asa
untuk berdoa kepada Allah. Salah satu doanya diabadikan dalam Surat Maryam: 4
(artinya) “Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah
dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa
kepada Engkau, ya Tuhanku.” (QS. Maryam: 4)
Nabi Zakaria dalam kondisi yang disadarinya yaitu telah tua, lemah
dan tidak bergairah sebagaimana pemuda tetap yakin kepada Allah bahwa Allah
mendengar doanya, beliau meminta anak kepada Allah.
Orang yang beriman tidak pernah berputus asa dari apa yang Allah
anugerahkan atas doa yang kita pinta termasuk kesembuhan atas penyakit yang
mustahil kelihatannya untuk disembuhkan. Ada sebuah kisah yang disampaikan oleh
seorang Ulama di Madinah, kisahnya adalah:
“Bahwa ada seorang istri yang tertular virus HIV dari suaminya.
Suaminya adalah orang yang nakal suka berzina, dan istrinya tertular penyakit
suaminya. Dokter memberitahukannya secara medis bahwa usianya tidak lama lagi, namun
sang istri tidak berputus asa dan berkonsultasi ke beberapa ulama. Kemudian ada
ulama yang menasehatinya untuk mengamalkan 3 (tiga) amalan: (1) Usahakan kamu
selalu memiliki wudhu, bahkan tidak batal pun wudhu; (2) Bershodaqoh ikhlas
karena Allah, jangan diniatkan ingin sembuh di awal niatannya; (3) Banyak
memuji Allah dan banyak mengucapkan Alhamdulillah. Setelah diamalkan
amalan-amalan itu, Si Ibu tersebut merasa enak dan check up, ternyata
virus HIV-nya hilang, yang membuat dokter yang menanganinya tercengang.”
Ada pula Syaik dari Madinah bercerita, kisahnya,
“Bahwa ada seorang laki-laki yang terkenda narkoba, dia sakit parah
karena narkoba tersebut. Merasa bahwa dia akan meninggal, maka dia bertaubat
kepada Allah. Kemudian dia berangkat Umroh di Bulan Ramadhan. Setelah selesai
Umroh, dia minum Air Zam-zam sebanyak-banyaknya dan sekenyang-kenyangnya, ini
memang disunnahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya
dia keluar Masjid dan muntah dengan warna yang sangat hitam. Kemudian ia
meminum lagi Air Zam-zam dengan sangat banyak dan sangat kenyang, kemudian dia
keluar lagi muntah lagi dan hitam lagi dan merasakan kenyamanan yang luar
biasa. Kemudian dia pulang ke kampungnya dan melakukan general check up,
yang terjadi penyakitnya hilang.”
5. Mengharapkan kesembuhannya, dan jangan
mengatakan “tidak mungkin kamu bisa sembuh”, serta tidak diperkenankan
mengharapkan kematiannya.
Tatkala Allah sayang kepada hambaNya maka hambaNya itu diuji,
berbeda dengan manusia. Ujian penyakit merupakan salah satu bentuk kasih sayang
Allah. Syaratnya harus ridho dengan penyakitnya, karena bila kita murka Allah
pun murka.
Kita juga harus menasehati orang tersebut agar tidak meminta mati,
dan kita pula yang menjenguk tidak diperkenankan untuk mengharapkan
kematiannya.
Meminta mati ada larangannya dan ada juga anjurannya. Dalam sebuah
hadits disebutkan, “Janganlah salah seorang engkau menginginkan karena sebuah
bencana yang kalian derita (maksudnya adalah bencana materi duniawi)”. Kalau
terpaksa juga ingin mati, maka Rasulullah mengajarkan sebuah doa (artinya), “Yaa
Allah hidupkan hamba bila hidup itu baik bagi hamba, dan matikan hamba bila
mati itu baik bagi hamba.” Maka minta mati seperti ini boleh dilakukan karena
khawatir agamanya rusak karena fitnah yang ada.
Dalam hal Fitnah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan doa, “Yaa Allah, bila Engkau akan menimpakan fitnah kepada suatu
kaum, maka wafatkan hamba untuk menghindari fitnah tersebut.”
6. Hendaknya mentalkinnya kalimat Syahadat
bila melihat ajalnya telah hampir tiba (saat sakaratul maut), memejamkan kedua
matanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Talkinkanlah
orang yang akan meninggal di antara kamu dengan kalimat Laa ilaha ilallah”
(Hadits Riwayat Muslim).
Talkin ini dilakukan apabila menjelang wafat (saat sakaratul maut)
tidak dilakukan bila tidak demikian. Talkin yang benar adalah dengan talkin
yang pelan dan lembut. Talkin dilakukan di dekat telingannya secara lembut dan
pelan.
Talkin dihentikan tatkala dia sudah berkata laa ilaha ilallah.
Talkin dilakukan kembali apabila yang menjelang wafat berbicara yang lainnya
(seperti aduh atau yang lebih dari itu). Tujuan dari talkin adalah, agar
diharapkan akhir kalamnya (pembicaraannya) dalam hidupnya di dunia adalah laa
ilaha ilallah, karena Allah menjaminnya ampunan dan syurga.
Berkembang pendapat di masyarakat bahwa talkin kepada orang yang
meninggal adalah dengan kalimat Allah, Allah, karena takut nanti apabila mati
terakhir yang diucapkan adalah Laailaha (tiada Tuhan), karena dia sudah tidak
kuasa untuk mengucapkan ilallah (kecuali Allah). Maka ini adalah
pendapat yang kurang tepat, talkin tetaplah dilakukan dengan ucapan Laa
ilaha ilallah, andaikan pun tatkala meninggal tidak lanjut mengucapkannya,
maka hal ini adalah karena di luar kekuatan manusia, dan itu tidak ada dosa
karena dia meniatkan mengucapkan laa ilaha ilallah. Allah Maha Tahu dan
Maha Pengampun, sedangkan kekhawatiran manusia hanyalah logika yang ada.
Godaan paling hebat yang dilakukan setan kepada manusia adalah
godaan pada saat sakaratul maut, maka apabila manusia saat hidupnya, kuatnya,
sehatnya saja kalah dengan setan dalam menggoda manusia apalagi saat sakaratul
maut. Setan hadir untuk menggoda iman orang-orang yang sakaratul maut ini.
Manusia meninggal kebanyakannya adalah sesuai dengan saat apa yang
dia sering lakukan dalam hidupnya. Maka tatkala kita sering melakukan amalan
kebaikan, maka insyaa Allah kita mati dalam keadaan kebaikan itu. Begitupula
sebaliknya, na’udzubillah min dzaalik.
Kemudian orang sakit juga diminta untuk bertaubat kepada Allah,
namun konteks taubat di sini sendiri tidak menunggu tatkala seseorang sakit
atau menjelang ajal.
Allahu a’lam bish shawwab
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar