AFI
– TANGGUNG JAWAB KITA BERSAMA
Bismillahirrahmanirrahim. Afi, nama yang begitu tenar dan melejit akhir-akhir ini. Pemudi
berusia 18 tahun telah menulis sebuah pemikiran atau lebih tepatnya curhatan di
dalam akun Facebooknya tentang agama lebih khususnya Islam, agama yang dia
anut. Dalam curhatannya dia menggambarkan bahwa seseorang yang beragama sebagai
orang yang menerima warisan dari nenek moyangnya. Pemudi yang baru lulus SMA
tersebut belum memahami bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu pernah
mayoritas beragama Hindu dan Budha, mereka memilih Islam dengan cara yang
sangat intelektual, santun, dan tanpa peperangan. Hampir semua elemen bangsa di
Dunia bahkan kalangan Arab sendiri terheran-heran dengan proses Islamisasi di
Indonesia.
Afi,
ABG yang lebih tepatnya masih bersifat labil, emosinya belum terkontrol dengan
baik, dan mengharapkan dirinya dapat terkenal bak artis yang kata orang
psikologi wajar dan itulah masanya telah membuat geger ribuan orang bahkan
lebih di seantero Indonesia bahkan WNI yang ada di negara asing. Curhatannya
tentang “Agama Warisan” telah mendapat perhatian publik, benar-benar “seorang
remaja yang beruntung” kata orang. Pemikirannya hebat, cerdas, pancasilais,
demokratis, memahami makna Islam yang liberlis dan pluralis, dan seantero
pujian lainnya dari kalangan mereka yang tidak senang dengan Islam sebagai way
of life[1],
atau paling tidak mereka lupa atau pura-pura lupa dengan sejarah Keislaman
Nusantara[2].
Di
sisi lain, Afi menimbulkan polemik kebencian tersendiri bagi mereka yang kokoh
dalam beragama, menginginkan Islam yang kaffah. Golongan ini muncul
dengan sangat cepat karena rahmat Allah akhir-akhir ini, khususnya setelah
peristiwa 411 dan 212 yang menuntut penista agama dihukum sesuai dengan
perundang-undangan karena ketimpangan hukum di negeri ini sudah sangat nampak. Afi
sebagai ladang keheranan mereka sekaligus (bahkan penulis) dan ladang olok-olok
pemikiran yang begitu primitif tentang permasalahan “Agama Warisan”.
Olok-olok
kepada Afi semakin tajam setelah fihak istana negara mengundangnya, dialog
berdua resmi bersama presiden. Bukan hanya itu, TV mainstream yang
diduga anti Islam pun ikut mengundang dia untuk melakukan wawancara dan
memuji-muji atas kehebatannya dalam menuangkan fikirannya yang sangat baik
untuk menciptakan “NKRI Harga Mati”. Bahkan universitas bergengsi di Indonesia
yang diklaim sebagai salah satu universitas terbaik di Yogyakarta, sebut saja
UGM telah mengundangnya di suatu forum ilmiah untuk membuktikan bahwa Afi
adalah puteri Indonesia yang cerdas, berfikir kritis serta ilmiah. Mungkin
mereka ingin menggambarkan Afi sebagai Kartininya masa kini.
Keadaan
berbalik, setelah beberapa orang yang kritis dan benar-benar kritis dalam
informasi dan ilmiah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada tulisan Afi.
Tulisan Afi tentang “Agama Warisan” dinilai sebagai PLAGIAT tingkat tinggi.
Hampir 100% plagiat[3].
Tidak hanya itu penulis asli pun telah muncul dan memaparkan bahwa tulisan Afi
tentang “Agama Warisan” adalah COPY/PASTE dari tulisannya, dan penulis asli
telah meminta maaf kepada publik atas tulisannya pada masa lalu apabila
menimbulkan keresahan masyarakat[4].
Istana,
UGM, TV Mainstream dan masyarakat yang mendukungnya tertampar keras. Namun
bagai mereka ingin menutupi malu dan borok, mereka diam seribu bahasa. Cemoohan,
celotehan, dan bullying masyarakat terhadap anak lulusan SMA ini pun
meningkat. “Sang Ratu Plagiat” “Tukang Jiplak” “Duta Plagiasi Indonesia” dan
berderet olokan serta cemoohan sangat banyak di beranda Media Sosial (baca:
medsos). Plagiasi pemikiran yang berbuah ketenaran dan pujian bahkan sampai ke
fihak istana ini sering mendapatkan sebuah kalimat “Masturbasi Ilmiah” masa
kini yang dilakukan oleh gadis remaja semacam Afi. Herannya, para pakar
pendidikan seperti guru, dosen hingga tingkat profesor memaklumi Afi sebagai
anak yang masih kecil yang belum faham dunia plagiasi. Baiklah, dia memang
belum faham dunia plagiasi, catat dahulu kalimat yang saya underline ini.
Tekanan
publik terhadap Afi menyebabkan dia akhirnya meminta maaf secara tulus, bahwa
tulisannya memang plagiat, walau melalui beberapa tahap “ngambek” dengan
menuliskan beberapa tulisan di berandanya. Waktu berlalu dan berselang cukup
lama, masyarakat mulai melupakan masalah Afi dan plagiasmenya.
Ramadhan
1438 H berlalu, 1 Syawwal 1438 H pun berlalu pula. Masuk ke awal Bulan Juli
2017, dunia medsos kembali digegerakan dengan munculnya Vlog Afi melalui sebuah
akun youtube. Dengan bahasa Inggrisnya yang pas-pasan, Afi mencoba mengungkapkan
rasa kecewanya terhadap bullying yang dilakukan masyarakat kepadanya. Video
yang menampakkan seorang Afi dengan gaya “Ndeso” mengatakan Inggris dengan
aksen khas Ndeso yang sangat medok. Bukan masalah medoknya, bukan masalah
belepotannya dalam hal grammar, bukan pula masalah “How can you do
that?” yang terus diulang bak puisi gagal total. BUKAN!!!
Publik
marah, masyarakat kembali mencemooh Ratu Plagiasi ini dengan cemoohan yang
lebih hebat dari sebelumnya. Bullying memenuhi ratusan komentar,
beranda, dan juga blog para peselancar dunia maya. Sekali bukan masalah
ndesonya, Bahasa Inggrisnya yang ngepas, dan “How can you do that?”,
tapi masalah ucapan kotor dan sangat kotor yang muncul dari mulut gadis yang
tak laki dapat dibilang anak-anak tapi sudah berpotensi bisa bikin anak ini.
Kata-kata
f**k, b*s*a*d, a*s*ol*, menghiasi setiap keindahan katanya dalam vlog. Gaya
yang dibuat-buat seakan sedih, ingin nangis, bahkan ingin bunuh diri
dimunculkan dengan sangat gagal menurut ilmu acting. Sesekali dia
melirik ke bawah seakan melihat teks, membuat ratusan orang curiga “jangan-jangan
plagiat lagi”.
Ternyata
benar, para pencari informasi di dunia maya mulai berselancar melihat sumber
inspirasi vlog Afi, yang jelas bukan bersumber dari Si Ndeso yang dilaporkan ke
polisi[5]. Ternyata
benar, Afi sangat kental meniru gaya akun youtube yang diduga milik Amanda Todd[6]
sebelum melakukan bunuh diri di tahun 2012.
Afi,
Si Raja Plagiasi menjadi masalah tersendiri terlebih setelah menjadi figur
institusi baik pemerintah NKRI, maupun TV dan kampus bergengsi. Banyaknya bully
dan caci menjadi diri ini ingin instropeksi.
Kalau
kita mengatakan dia “g*b*o*”, anak yang tidak bermutu, dan sebagainya, justru
itu menampar wajah kita. Mari kita instropeksi secara meluas, mengapa Si Afi
ini bisa tumbuh menjadi anak yang bermasalah dari sisi yang dapat kita ketahui.
Afi, Anak
Banyuwangi
Afi,
merupakan nama anagram. Nama aslinya, “Asa Firda Inayah binti Wahyudi”. Lahir
tanggal 23 Juli 1998 di Banyuwangi Propinsi Jawa Timur[7]. Entah
mengapa dia membuat nama anagramnya Afi Nihaya Faradisa. Kalau Afi berasal dari
singkatan nama resminya, namun yang menjadi pertanyaan para netizen adalah
Nihaya Faradisa, yang artinya “akhir sebuah syurga”. Ini menjadi sebuah
dugaan munculnya pemikiran-pemikirannya yang sangat liberal di usia dini.
Instropeksi
Para Dai
Penulis
tidak mengkhususkan kata da’i kepada ulama besar, kecil maupun para thalib,
tetapi semua, semua elemen.
Pertama-tama
masalah Banyuwangi. Kota yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa ini menjadi
sebuah analisa tersendiri akan munculnya sosok Afi, khususnya pada para da’i
yang konsen kepada pelurusan aqidah Islamiyah bagi umat Muslim ini. Siapa tidak
kenal Banyuwangi berarti hampir dipastikan tidak pernah pula ke Bali melalui
jalur darat.
Banyuwangi
yang terkenal dengan legenda Air Harumnya ini menjadi sebuah perhatian
tersendiri tatkala kita keliling dan memperdalam sosial kemasyarakatannya. Paling
tidak ada dua suku besar yang tinggal di Banyuwangi, yaitu Suku Jawa dan Osing.
Agama mayoritas adalah Islam, kemudian Hindu, dan kemudian yang lainnya.
Bila
kita fokus kepada Islam di Banyuwangi maka akan kita jumpai betapa dakwah di
sana sangat perlu untuk diperdalam. Faktor historis dimana Banyuwangi menjadi
kekuatan Blambangan yang merupakan sentra perlindungan terakhir kerajaan
Majapahit menjadi sebuah fenomena unik tersendiri untuk diperhatikan penyebaran
keislamannya.
Penulis
memiliki tetangga orang Banyuwangi, juga memiliki saudara orang Banyuwangi.
Pernah beberapa kali bermalam di Banyuwangi dan masuk ke beberapa desanya. Banyak
di sana orang Osing dan Jawa, mayoritas Muslim namun dakwah yang tersebar masih
terpusat di kota-kotanya dan di wilayah-wilayah tertentu. Di desa pedalamannya
mereka masih bergaul dengan orang-orang mayoritas Hindu. Bukan masalah
pergaulannya, namun mereka benar-benar jauh dari pemahaman Islam yang kaffah.
Kalau
boleh penulis mengambil dua contoh yang riil tentang warga Banyuwangi sebagai
gambaran bagaimana dakwah dan kondisi di sana maka silahkan dibaca bagaimana
ulasan saya. Namun bila beranggapan bahwa tidak semua orang Banyuwangi
demikian, ya memang tidak semua, namu yang jadi sorotan, tidakkah kita mencoba
bertabbayun ke sana untuk memetakan strategi dakwah yang lebih baik lagi?
Munculnya Afi tidakkah sebagai pelajaran bagi kita untuk membangun generasi
yang tidak bingung lagi masalah Islam?
Tetangga
saya adalah orang Muslim, ibunya seorang mualaf yang masuk Islam setelah akan
dinikahi oleh seorang beragama Islam pula. Seorang Muslim namun melarang
istrinya berjilbab dengan alasan tidak gaul dan tidak keren, padahal istrinya
sangat ingin tampil berhijab. Agamanya juga sangat awam sehingga tidak mungkin
diajak berdialog dan berdiskusi masalah sensitif keislaman yang menjangkiti
Indonesia.
Keponakan
jauh saya lahir di Mekkah, Kerajaan Saudi Arabia saat bapaknya menjadi petugas
pemandu haji dan umrah yang menetap di sana. Keluarganya tentram sentausa hingga
mereka kembali ke Indonesia. Fitnah terpaan dari tetangga-tetangga menyebabkan
pecahnya keluarga dan dia pun putus sekolah di tingkat SMP. Orang yang sekilas
tahu tentang dia sangat mungkin tidak akan pernah percaya dia lahir di Makkah
kecuali dengan melihat nama akhirnya Al-Makki. Siapa yang menyangka dia dahulu
pernah berbicara Bahasa Arab Fasih dan tidak mengenal Bahasa Indonesia, apalagi
Bahasa Jawa dan Osing. Sedangkan sekarang dia lupa dengan Bahasa Arab,
jangankan berbahasa aktif, satu kalimat pun dia tidak bisa membuatnya.
Apakah
hal ini karena pendidikan orang tuanya, iya boleh jadi. Namun yang paling
membuat dia dan keluarganya terpental dari keluarga harmonis adalah tetangga
dan teman-temannya. IYA, LINGKUNGAN! Ini yang kita perlu camkan.
Terus
terang, penulis sangat sedih melihat fenomena Kaum Intelektual Muslim dari
kalangan Asatid hingga Thalib yang apatis terhadap perkembangan
kemasyarakatan. Kalau toh ada hanya sedikit, itupun diintimidasi dan dituduh
yang tidak-tidak bahkan sampai maut taruhannya, seperti Siyono yang melawan
Kristenisasi berujung kematian di ujung senjata pasukan Salib Indonesia Densus
88.
Kedua
titik ekstrim melahirkan generasi dai yang kurang peka terhadap perkembangan
pendidikan generasi muda. Generasi muda hanyalah sebatas membaca Al-Qur’an,
tidak lebih dari itu. Di sisi lain Islamfobia yang dilancarkan kaum Kafirun,
Munafikun, dan Liberliun sangat-sangat masif. Bagaimana tidak, bila penulis
boleh mengungkapkan katanya-katanya, “Beberapa guru di Banyuwangi di sekolah
yang Afi belajar di dalamnya dimutasi, bahkan ada yang dipecat karena tuduhan
Si Afi terhadap para guru itu menyebarkan ajaran radikal.”
Para
asatid dan thalib saling singgung, gempur dan hujat antara satu sama
lain. Thalib lebih ngeri lagi. Kelompok hizbiyun merasa manhajnya paling
benar, yang lain sesat, sesat di neraka. Merasa syurga miliknya, merasa syurga
yang menentukan adalah gurunya dan sanadnya. Padahal semua sanad ahlussunnah
wal jamaa’ah sampailah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
apabila kita memang sudah berguru ke ratusan guru dan belajar ribuan kitab.
Apabila kita hanya baca satu kitab di satu guru, belum layak kita mengklaim
yang lain sesat.
Ahlusunnah
wal jamaa’ah, kalau boleh
kita tahu kata ini biasa ada di kalangan orang kota atau desa yang sangat lekat
dengan agama. Namun kata ini sangat anti bagi orang yang liberal, ada di kota
maupun di desa yang sangat awam akan agamanya. Coba tanyakan kepada Afi,
tahukan dia apa itu ahlusunnah wal jamaa’ah? Kalau tidak jangan keburu
ditahdzir dan diolokin goblok dengan menulis agama warisannya. Dia masih
unyu-unyu belum faham akan arti warisan, tapi sudah keburu dimakan serigala dan
singa liberalisme dan pluralisme yang melekat kuat. Lagi-lagi kita KECOLONGAN.
Generasi
cerdas semacam generasi Anshor di zaman Rasulullah serta wanita-wanita
yang melahirkan anak yang besar di zamannya sudah semakin menipis, terlebih
melihat Afi yang seperti ini. Tidak ada yang dapat menyelamatkan dia saat ini
kecuali hanya berlandaskan hidayah Allah, kalau Allah memberikan hidayah
keapdanya maka itulah keselamatan baginya. Namun secara logika, dia sudah
dimakan SERIGALA LIBERLISME dan PLURALISME.
Apakah
kita masih mau gontok-gontokan masalah manhaj, padahal di tengah-tengah kita
lahir gadis berpemikiran plagiat yang rusak akal dan akidahnya, namun dijunjung
oleh para bahlul muroqab yang mengatasnamakan pemerintah, akademisi, dan
media apapun titel dan pangkatnya.
Kita
sibuk dengan hanya ibadah tanpa melihat realitas masyarakat yang sangat haus
akan sejuknya salju iman, islam dan ihsan. Kita sibuk memikirkan syurga kita
tanpa memikirkan syurganya orang lain. Apabila memikirkan syurga hanya untuk
kita, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu sampai
dilempari kotoran, diboikot, diancam bunuh, perang, hingga membentuk sebuah
generasi yang besar dan beradab.
Anak
sebesar Afi masih belum yakin kebenaran agamanya hingga mementahkan perjuangan
para ulama mempertahankan Islam. Liatlah bagaimana pemuda dan pemudi seperti
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra serta Ibunda Aisyah radhiyallahu
anhum. Muda belia namun pemikirannya dewasa.
Anak
sebesar Afi dalam syariat tidak lagi dikatakan anak-anak, namun sudah baligh,
dewasa. Kalau toh dia belum haid, minimal sudah lepas dari 15 tahun, jelas
bukan anak-anak dan berpotensi untuk membuat anak. Pahala dan dosa telah
dibebankan kepadanya, namun masalahnya mengapa anak sebesar itu rusak pemikiran
dan akhlaknya? Kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya walaupun dalam bahasa
asing, namun dia memahami bahwa itu kata kotor yang mengarah kepada seksual,
bahkan dilarang dalam agama (as*h*l*) sangat tidak pantas diucapkan. Kemana
orang tuanya selama ini? Tidak pandang bulu entah dari penjual cilok atau dari
saudagar kaya sekalipun, pendidikan adab dan akhlak tetap harus ditekankan.
Kemana pula para asatid, para thalib dan para pemerhati akhlak dan adab?
Introspeksi
para Intelektual
Diri
saya mungkin masuk di dalamnya. Penulis merasa terbebani sangat dengan plagiasi
tingkat kerupuk ini, bukan saja hanya tulisan video pun diplagiat. Letak
menyedihkannya bukan pada plagiasi, OKAY kalau memang dia masih belum pernah
kuliah. Okay pula kalau dikatakan masih belum faham apa itu plagiasi, karena
mungkin saat SMA hanya duduk di bangku mencatat tulisan, mengerjakan PS, LKS,
dan sejenisnya. Belum pernah membuat makalah apalagi skripsi. Okay bila memang
demikian, namun yang jadi permasalahan, kampus sekelas UGM membangga-banggakan
pemikiran Afi tentang agama warisan yang sangat dangkal pemahaman dan
logikanya.
Kampus
bergengsi sekelas UGM pun tidak membuat klarifikasi tentang kesalahannya mengundang
Afi pada forum ilmiah. Paling tidak UGM mengklarifikasi bahwa apa yang dia
lakukan belum memahami bahwa karya Afi adalah plagiasi, kalau toh sudah
diketahui plagiasi seperti saat ini UGM tetap mensupport potensi yang ada namun
tetap tidak membenarkan tindakan plagiasinya, sehingga apabila Afi telah aktif
kuliah di UGM maka UGM benar-benar akan bertanggung jawab merubah Afi menjadi
intelektual sejati. Klarifikasi ini penting adanya agar tidak mencoreng dunia
keilmuan dan dunia pendidikan. Tapi UGM hingga kini diam seribu bahasa, tidak
ada klarifikasi resmi terkait kesalahannya ini. MEMALUKAN!!!
Mungkin
para intelektual senang akan makanan sehari-harinya berupa liberalisme dan
pluralisme yang tidak pada tempatnya. Mereka tidak ingat bahwa Indonesia saat bernama
Nusantara besar karena jasa Islam. Tidak ada Indonesia bila tidak ada Nusantara,
tidak ada Nusantara bila tidak ada Islam di wilayah kepulan ini. Para
intelektual lupa bahwa NKRI adalah desain mulai jaman kerajaan dahulu, walaupun
terkotak dengan persatuan namun mereka memiliki perkumpulan dan persatuan
kerajaan Islam bernama Nusantara. Nusantara hancur karena devide et impera
oleh Portugis dan Belanda, kini berubah menjadi Indonesia yang usianya masih
belum sepanjang Nusantara.
Para
intelektual lupa bahwa liberlisme dan pluralisme menyebabkan kemunduran
Indonesia di segala bidang, termasuk juga akhlak. Lihatlah Afi, pluralisme dan
liberalismenya tinggi namun akhlaknya perlu dikoreksi kembali. Liberlisme dan
Pluralisme yang menekankan kepada materialisme menyebabkan Afi hanyalah anak
bermental kerupuk, mencontoh orang Bule yang sudah mati bunuh diri. Dengan
kata-kata kasarnya, dia tidak tahan dibuli, hingga dia ingin mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri. Mana UGM??? Mana para Profesor, Psikolog,
Dosen?? Mana para peneliti, mana pula pemerhati anak-anak stres dan depresi?
Jangan salahkan yang membuli, namun mengapa anak gadis cantik ini tak tahan
buli, padahal dahulu ayahandanya Fatimah Az-Zahra dibuli habis-habisan,
dilempar kotoran saat sujud di depan Ka’bah, perlakuan yang keji dilontarkan
kepada ayahnya di depan mata, namun apa yang ayahnya katakan? Ayahnya
membesarkan hatinya dengan mengingat Allah.
Jadilah
Fatimah seorang ibu yang melahirkan generasi sangat kuat dari bulian orang,
bahkan Ali bin Abi Thalib dibuli orang khawarij, dikatakan kafir, murtad, dan
sebagainya. Difitnah dan dibenturkan dengan Ibundanya sendiri dan juga dengan
sahabatnya sendiri, namun tetap tegar dan hingga akhirnya gugur sebagai
ksatria. Hasan, Husein Si Kembar yang akhirnya harus menghadapi ujian fitnah
yang begitu dahsyat hingga berujung kepada pembunuhan oleh orang-orang yang
mengaku pengikutnya namun berkhianat.
Apalah
jadinya Afi bila ia menjadi seorang ibu, yang dirinya diperolok-olok dan dibuli
masyarakat awam langsung keluar kata-kata kasar yang berbau seks yang biasa
dilontarkan oleh orang-orang Barat yang tidak memperhatikan tata sopan santun.
Apakah para intelektual masih mempertahankan barisan pluralisme dan liberalisme
dengan mengorbankan gadis-gadis dan anak-anak macam seperti ini?
Kau
kemanakan anak yang mampu menemukan arus listrik dengan kedondong? Mengapa tidak
diundang di forum ilmiah UGM? Apakah ada mahasiswa UGM yang kepikiran demikian?
Membuat arus listrik dengan buah kedondong? Mengapa tidak diundang anak-anak
berprestasi yang membuat prototipe listrik dengan alat pel? Mengapa hanya
sekelas agama warisan yang ternyata plagiator murni?
Fihak
istana, mengapa simbol kenegaraan ini mengundang anak yang prestasinya hanya
mampu copy/paste? Mengapa tidak diundang anak-anak yang menjadi rebutan
intelektual luar negeri karena kecerdasan dan potensinya? Lagi-lagi saya mual
dan mau muntah bila harus mengoreksi tingkah laku pemerintah di negeri ini.
Penuh intrik, tipuan, serigala dan buaya menjadi satu.
Akhirnya:
AFI
hanyalah korban ambisi orang-orang jahat yang mengatasnamakan liberlisme dan
pluralisme. AFI hanyalah korban pertarungan orang-orang bergamis yang sibuk
membenarkan manhajnya sendiri. AFI hanyalah korban orang-orang yang berfikir
bahwa syurga hanya didapatkan dari ibadah. AFI hanyalah korban orang-orang yang
ingin masuk syurga namun lupa mengajak saudaranya. AFI, hanyalah figur, simbul,
tokoh fiktif yang akhirnya dibuang dan tidak lagi diperhatikan media. AFI
adalah manusia baligh yang sudah tidak lagi dikatakan anak-anak yang
menjadi korban buaya dan singa pluralisme dan liberalisme karena penggembala
sibuk mencari taman, sedangkan kambing-kambingnya dibiarkan memakan tanaman
milik orang lain.
Entahlah
bagaimana nasib AFI, hanya Allah Yang Maha Tahu. Alhamdulillahirabbil ‘alamin.
[1] Penulis
gunakan life, bukan live, karena lebih menekankan bahwa Islam adalah agama yang
menjadikan kita sebagai tuntunan seumur hidup, hingga mati. Bukan hanya sekedar
hidup.
[2] Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3502343/tulisan-siswi-sma-banyuwangi-soal-keberagaman-tuai-banyak-pujian.
[3]
https://kumparan.com/salmah-muslimah/4-tulisan-Afi-yang-disebut-plagiat
[4] http://seleb.fajar.co.id/2017/06/01/mita-handayani-akhirnya-mengaku-itu-tulisannya-Afi-nihaya-ternyata-copy-paste/
[5] https://www.youtube.com/watch?v=c2ldE1XAKHE
[6]
http://style.tribunnews.com/2017/07/08/heboh-tak-hanya-tulisan-video-curhatan-afi-nihaya-diduga-plagiat-amanda-todd.
[7]https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2017/05/profil-biodata-afi-nihaya-faradisa-faradisa-gadis-belia-yang-viral-di-facebook.html.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami
0 komentar:
Posting Komentar