WISATA MANFAAT

Menuangkan informasi tentang kepariwisataan Indonesia yang kaya akan keragaman alam dan budaya. Turut pula memberikan kemudahan dalam melayani customer wisata (tourist) baik domestik maupun internasional untuk welcome (datang) ke Indonesia. Dimulai dari Malang Raya menyebar hingga Nusantara

Minggu, 09 Juli 2017

AFI – TANGGUNG JAWAB KITA BERSAMA



AFI – TANGGUNG JAWAB KITA BERSAMA


Bismillahirrahmanirrahim. Afi, nama yang begitu tenar dan melejit akhir-akhir ini. Pemudi berusia 18 tahun telah menulis sebuah pemikiran atau lebih tepatnya curhatan di dalam akun Facebooknya tentang agama lebih khususnya Islam, agama yang dia anut. Dalam curhatannya dia menggambarkan bahwa seseorang yang beragama sebagai orang yang menerima warisan dari nenek moyangnya. Pemudi yang baru lulus SMA tersebut belum memahami bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dahulu pernah mayoritas beragama Hindu dan Budha, mereka memilih Islam dengan cara yang sangat intelektual, santun, dan tanpa peperangan. Hampir semua elemen bangsa di Dunia bahkan kalangan Arab sendiri terheran-heran dengan proses Islamisasi di Indonesia.
Afi, ABG yang lebih tepatnya masih bersifat labil, emosinya belum terkontrol dengan baik, dan mengharapkan dirinya dapat terkenal bak artis yang kata orang psikologi wajar dan itulah masanya telah membuat geger ribuan orang bahkan lebih di seantero Indonesia bahkan WNI yang ada di negara asing. Curhatannya tentang “Agama Warisan” telah mendapat perhatian publik, benar-benar “seorang remaja yang beruntung” kata orang. Pemikirannya hebat, cerdas, pancasilais, demokratis, memahami makna Islam yang liberlis dan pluralis, dan seantero pujian lainnya dari kalangan mereka yang tidak senang dengan Islam sebagai way of life[1], atau paling tidak mereka lupa atau pura-pura lupa dengan sejarah Keislaman Nusantara[2].
Di sisi lain, Afi menimbulkan polemik kebencian tersendiri bagi mereka yang kokoh dalam beragama, menginginkan Islam yang kaffah. Golongan ini muncul dengan sangat cepat karena rahmat Allah akhir-akhir ini, khususnya setelah peristiwa 411 dan 212 yang menuntut penista agama dihukum sesuai dengan perundang-undangan karena ketimpangan hukum di negeri ini sudah sangat nampak. Afi sebagai ladang keheranan mereka sekaligus (bahkan penulis) dan ladang olok-olok pemikiran yang begitu primitif tentang permasalahan “Agama Warisan”.
Olok-olok kepada Afi semakin tajam setelah fihak istana negara mengundangnya, dialog berdua resmi bersama presiden. Bukan hanya itu, TV mainstream yang diduga anti Islam pun ikut mengundang dia untuk melakukan wawancara dan memuji-muji atas kehebatannya dalam menuangkan fikirannya yang sangat baik untuk menciptakan “NKRI Harga Mati”. Bahkan universitas bergengsi di Indonesia yang diklaim sebagai salah satu universitas terbaik di Yogyakarta, sebut saja UGM telah mengundangnya di suatu forum ilmiah untuk membuktikan bahwa Afi adalah puteri Indonesia yang cerdas, berfikir kritis serta ilmiah. Mungkin mereka ingin menggambarkan Afi sebagai Kartininya masa kini.
Keadaan berbalik, setelah beberapa orang yang kritis dan benar-benar kritis dalam informasi dan ilmiah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada tulisan Afi. Tulisan Afi tentang “Agama Warisan” dinilai sebagai PLAGIAT tingkat tinggi. Hampir 100% plagiat[3]. Tidak hanya itu penulis asli pun telah muncul dan memaparkan bahwa tulisan Afi tentang “Agama Warisan” adalah COPY/PASTE dari tulisannya, dan penulis asli telah meminta maaf kepada publik atas tulisannya pada masa lalu apabila menimbulkan keresahan masyarakat[4].
Istana, UGM, TV Mainstream dan masyarakat yang mendukungnya tertampar keras. Namun bagai mereka ingin menutupi malu dan borok, mereka diam seribu bahasa. Cemoohan, celotehan, dan bullying masyarakat terhadap anak lulusan SMA ini pun meningkat. “Sang Ratu Plagiat” “Tukang Jiplak” “Duta Plagiasi Indonesia” dan berderet olokan serta cemoohan sangat banyak di beranda Media Sosial (baca: medsos). Plagiasi pemikiran yang berbuah ketenaran dan pujian bahkan sampai ke fihak istana ini sering mendapatkan sebuah kalimat “Masturbasi Ilmiah” masa kini yang dilakukan oleh gadis remaja semacam Afi. Herannya, para pakar pendidikan seperti guru, dosen hingga tingkat profesor memaklumi Afi sebagai anak yang masih kecil yang belum faham dunia plagiasi. Baiklah, dia memang belum faham dunia plagiasi, catat dahulu kalimat yang saya underline ini.
Tekanan publik terhadap Afi menyebabkan dia akhirnya meminta maaf secara tulus, bahwa tulisannya memang plagiat, walau melalui beberapa tahap “ngambek” dengan menuliskan beberapa tulisan di berandanya. Waktu berlalu dan berselang cukup lama, masyarakat mulai melupakan masalah Afi dan plagiasmenya.
Ramadhan 1438 H berlalu, 1 Syawwal 1438 H pun berlalu pula. Masuk ke awal Bulan Juli 2017, dunia medsos kembali digegerakan dengan munculnya Vlog Afi melalui sebuah akun youtube. Dengan bahasa Inggrisnya yang pas-pasan, Afi mencoba mengungkapkan rasa kecewanya terhadap bullying yang dilakukan masyarakat kepadanya. Video yang menampakkan seorang Afi dengan gaya “Ndeso” mengatakan Inggris dengan aksen khas Ndeso yang sangat medok. Bukan masalah medoknya, bukan masalah belepotannya dalam hal grammar, bukan pula masalah “How can you do that?” yang terus diulang bak puisi gagal total. BUKAN!!!
Publik marah, masyarakat kembali mencemooh Ratu Plagiasi ini dengan cemoohan yang lebih hebat dari sebelumnya. Bullying memenuhi ratusan komentar, beranda, dan juga blog para peselancar dunia maya. Sekali bukan masalah ndesonya, Bahasa Inggrisnya yang ngepas, dan “How can you do that?”, tapi masalah ucapan kotor dan sangat kotor yang muncul dari mulut gadis yang tak laki dapat dibilang anak-anak tapi sudah berpotensi bisa bikin anak ini.
Kata-kata f**k, b*s*a*d, a*s*ol*, menghiasi setiap keindahan katanya dalam vlog. Gaya yang dibuat-buat seakan sedih, ingin nangis, bahkan ingin bunuh diri dimunculkan dengan sangat gagal menurut ilmu acting. Sesekali dia melirik ke bawah seakan melihat teks, membuat ratusan orang curiga “jangan-jangan plagiat lagi”.
Ternyata benar, para pencari informasi di dunia maya mulai berselancar melihat sumber inspirasi vlog Afi, yang jelas bukan bersumber dari Si Ndeso yang dilaporkan ke polisi[5]. Ternyata benar, Afi sangat kental meniru gaya akun youtube yang diduga milik Amanda Todd[6] sebelum melakukan bunuh diri di tahun 2012.
Afi, Si Raja Plagiasi menjadi masalah tersendiri terlebih setelah menjadi figur institusi baik pemerintah NKRI, maupun TV dan kampus bergengsi. Banyaknya bully dan caci menjadi diri ini ingin instropeksi.
Kalau kita mengatakan dia “g*b*o*”, anak yang tidak bermutu, dan sebagainya, justru itu menampar wajah kita. Mari kita instropeksi secara meluas, mengapa Si Afi ini bisa tumbuh menjadi anak yang bermasalah dari sisi yang dapat kita ketahui.
Afi, Anak Banyuwangi
Afi, merupakan nama anagram. Nama aslinya, “Asa Firda Inayah binti Wahyudi”. Lahir tanggal 23 Juli 1998 di Banyuwangi Propinsi Jawa Timur[7]. Entah mengapa dia membuat nama anagramnya Afi Nihaya Faradisa. Kalau Afi berasal dari singkatan nama resminya, namun yang menjadi pertanyaan para netizen adalah Nihaya Faradisa, yang artinya “akhir sebuah syurga”. Ini menjadi sebuah dugaan munculnya pemikiran-pemikirannya yang sangat liberal di usia dini.
Instropeksi Para Dai
Penulis tidak mengkhususkan kata da’i kepada ulama besar, kecil maupun para thalib, tetapi semua, semua elemen.
Pertama-tama masalah Banyuwangi. Kota yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa ini menjadi sebuah analisa tersendiri akan munculnya sosok Afi, khususnya pada para da’i yang konsen kepada pelurusan aqidah Islamiyah bagi umat Muslim ini. Siapa tidak kenal Banyuwangi berarti hampir dipastikan tidak pernah pula ke Bali melalui jalur darat.
Banyuwangi yang terkenal dengan legenda Air Harumnya ini menjadi sebuah perhatian tersendiri tatkala kita keliling dan memperdalam sosial kemasyarakatannya. Paling tidak ada dua suku besar yang tinggal di Banyuwangi, yaitu Suku Jawa dan Osing. Agama mayoritas adalah Islam, kemudian Hindu, dan kemudian yang lainnya.
Bila kita fokus kepada Islam di Banyuwangi maka akan kita jumpai betapa dakwah di sana sangat perlu untuk diperdalam. Faktor historis dimana Banyuwangi menjadi kekuatan Blambangan yang merupakan sentra perlindungan terakhir kerajaan Majapahit menjadi sebuah fenomena unik tersendiri untuk diperhatikan penyebaran keislamannya.
Penulis memiliki tetangga orang Banyuwangi, juga memiliki saudara orang Banyuwangi. Pernah beberapa kali bermalam di Banyuwangi dan masuk ke beberapa desanya. Banyak di sana orang Osing dan Jawa, mayoritas Muslim namun dakwah yang tersebar masih terpusat di kota-kotanya dan di wilayah-wilayah tertentu. Di desa pedalamannya mereka masih bergaul dengan orang-orang mayoritas Hindu. Bukan masalah pergaulannya, namun mereka benar-benar jauh dari pemahaman Islam yang kaffah.
Kalau boleh penulis mengambil dua contoh yang riil tentang warga Banyuwangi sebagai gambaran bagaimana dakwah dan kondisi di sana maka silahkan dibaca bagaimana ulasan saya. Namun bila beranggapan bahwa tidak semua orang Banyuwangi demikian, ya memang tidak semua, namu yang jadi sorotan, tidakkah kita mencoba bertabbayun ke sana untuk memetakan strategi dakwah yang lebih baik lagi? Munculnya Afi tidakkah sebagai pelajaran bagi kita untuk membangun generasi yang tidak bingung lagi masalah Islam?
Tetangga saya adalah orang Muslim, ibunya seorang mualaf yang masuk Islam setelah akan dinikahi oleh seorang beragama Islam pula. Seorang Muslim namun melarang istrinya berjilbab dengan alasan tidak gaul dan tidak keren, padahal istrinya sangat ingin tampil berhijab. Agamanya juga sangat awam sehingga tidak mungkin diajak berdialog dan berdiskusi masalah sensitif keislaman yang menjangkiti Indonesia.
Keponakan jauh saya lahir di Mekkah, Kerajaan Saudi Arabia saat bapaknya menjadi petugas pemandu haji dan umrah yang menetap di sana. Keluarganya tentram sentausa hingga mereka kembali ke Indonesia. Fitnah terpaan dari tetangga-tetangga menyebabkan pecahnya keluarga dan dia pun putus sekolah di tingkat SMP. Orang yang sekilas tahu tentang dia sangat mungkin tidak akan pernah percaya dia lahir di Makkah kecuali dengan melihat nama akhirnya Al-Makki. Siapa yang menyangka dia dahulu pernah berbicara Bahasa Arab Fasih dan tidak mengenal Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Jawa dan Osing. Sedangkan sekarang dia lupa dengan Bahasa Arab, jangankan berbahasa aktif, satu kalimat pun dia tidak bisa membuatnya.
Apakah hal ini karena pendidikan orang tuanya, iya boleh jadi. Namun yang paling membuat dia dan keluarganya terpental dari keluarga harmonis adalah tetangga dan teman-temannya. IYA, LINGKUNGAN! Ini yang kita perlu camkan.
Terus terang, penulis sangat sedih melihat fenomena Kaum Intelektual Muslim dari kalangan Asatid hingga Thalib yang apatis terhadap perkembangan kemasyarakatan. Kalau toh ada hanya sedikit, itupun diintimidasi dan dituduh yang tidak-tidak bahkan sampai maut taruhannya, seperti Siyono yang melawan Kristenisasi berujung kematian di ujung senjata pasukan Salib Indonesia Densus 88.
Kedua titik ekstrim melahirkan generasi dai yang kurang peka terhadap perkembangan pendidikan generasi muda. Generasi muda hanyalah sebatas membaca Al-Qur’an, tidak lebih dari itu. Di sisi lain Islamfobia yang dilancarkan kaum Kafirun, Munafikun, dan Liberliun sangat-sangat masif. Bagaimana tidak, bila penulis boleh mengungkapkan katanya-katanya, “Beberapa guru di Banyuwangi di sekolah yang Afi belajar di dalamnya dimutasi, bahkan ada yang dipecat karena tuduhan Si Afi terhadap para guru itu menyebarkan ajaran radikal.”
Para asatid dan thalib saling singgung, gempur dan hujat antara satu sama lain. Thalib lebih ngeri lagi. Kelompok hizbiyun merasa manhajnya paling benar, yang lain sesat, sesat di neraka. Merasa syurga miliknya, merasa syurga yang menentukan adalah gurunya dan sanadnya. Padahal semua sanad ahlussunnah wal jamaa’ah sampailah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila kita memang sudah berguru ke ratusan guru dan belajar ribuan kitab. Apabila kita hanya baca satu kitab di satu guru, belum layak kita mengklaim yang lain sesat.
Ahlusunnah wal jamaa’ah, kalau boleh kita tahu kata ini biasa ada di kalangan orang kota atau desa yang sangat lekat dengan agama. Namun kata ini sangat anti bagi orang yang liberal, ada di kota maupun di desa yang sangat awam akan agamanya. Coba tanyakan kepada Afi, tahukan dia apa itu ahlusunnah wal jamaa’ah? Kalau tidak jangan keburu ditahdzir dan diolokin goblok dengan menulis agama warisannya. Dia masih unyu-unyu belum faham akan arti warisan, tapi sudah keburu dimakan serigala dan singa liberalisme dan pluralisme yang melekat kuat. Lagi-lagi kita KECOLONGAN.
Generasi cerdas semacam generasi Anshor di zaman Rasulullah serta wanita-wanita yang melahirkan anak yang besar di zamannya sudah semakin menipis, terlebih melihat Afi yang seperti ini. Tidak ada yang dapat menyelamatkan dia saat ini kecuali hanya berlandaskan hidayah Allah, kalau Allah memberikan hidayah keapdanya maka itulah keselamatan baginya. Namun secara logika, dia sudah dimakan SERIGALA LIBERLISME dan PLURALISME.
Apakah kita masih mau gontok-gontokan masalah manhaj, padahal di tengah-tengah kita lahir gadis berpemikiran plagiat yang rusak akal dan akidahnya, namun dijunjung oleh para bahlul muroqab yang mengatasnamakan pemerintah, akademisi, dan media apapun titel dan pangkatnya.
Kita sibuk dengan hanya ibadah tanpa melihat realitas masyarakat yang sangat haus akan sejuknya salju iman, islam dan ihsan. Kita sibuk memikirkan syurga kita tanpa memikirkan syurganya orang lain. Apabila memikirkan syurga hanya untuk kita, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu sampai dilempari kotoran, diboikot, diancam bunuh, perang, hingga membentuk sebuah generasi yang besar dan beradab.
Anak sebesar Afi masih belum yakin kebenaran agamanya hingga mementahkan perjuangan para ulama mempertahankan Islam. Liatlah bagaimana pemuda dan pemudi seperti Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra serta Ibunda Aisyah radhiyallahu anhum. Muda belia namun pemikirannya dewasa.
Anak sebesar Afi dalam syariat tidak lagi dikatakan anak-anak, namun sudah baligh, dewasa. Kalau toh dia belum haid, minimal sudah lepas dari 15 tahun, jelas bukan anak-anak dan berpotensi untuk membuat anak. Pahala dan dosa telah dibebankan kepadanya, namun masalahnya mengapa anak sebesar itu rusak pemikiran dan akhlaknya? Kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya walaupun dalam bahasa asing, namun dia memahami bahwa itu kata kotor yang mengarah kepada seksual, bahkan dilarang dalam agama (as*h*l*) sangat tidak pantas diucapkan. Kemana orang tuanya selama ini? Tidak pandang bulu entah dari penjual cilok atau dari saudagar kaya sekalipun, pendidikan adab dan akhlak tetap harus ditekankan. Kemana pula para asatid, para thalib dan para pemerhati akhlak dan adab?
Introspeksi para Intelektual
Diri saya mungkin masuk di dalamnya. Penulis merasa terbebani sangat dengan plagiasi tingkat kerupuk ini, bukan saja hanya tulisan video pun diplagiat. Letak menyedihkannya bukan pada plagiasi, OKAY kalau memang dia masih belum pernah kuliah. Okay pula kalau dikatakan masih belum faham apa itu plagiasi, karena mungkin saat SMA hanya duduk di bangku mencatat tulisan, mengerjakan PS, LKS, dan sejenisnya. Belum pernah membuat makalah apalagi skripsi. Okay bila memang demikian, namun yang jadi permasalahan, kampus sekelas UGM membangga-banggakan pemikiran Afi tentang agama warisan yang sangat dangkal pemahaman dan logikanya.
Kampus bergengsi sekelas UGM pun tidak membuat klarifikasi tentang kesalahannya mengundang Afi pada forum ilmiah. Paling tidak UGM mengklarifikasi bahwa apa yang dia lakukan belum memahami bahwa karya Afi adalah plagiasi, kalau toh sudah diketahui plagiasi seperti saat ini UGM tetap mensupport potensi yang ada namun tetap tidak membenarkan tindakan plagiasinya, sehingga apabila Afi telah aktif kuliah di UGM maka UGM benar-benar akan bertanggung jawab merubah Afi menjadi intelektual sejati. Klarifikasi ini penting adanya agar tidak mencoreng dunia keilmuan dan dunia pendidikan. Tapi UGM hingga kini diam seribu bahasa, tidak ada klarifikasi resmi terkait kesalahannya ini. MEMALUKAN!!!
Mungkin para intelektual senang akan makanan sehari-harinya berupa liberalisme dan pluralisme yang tidak pada tempatnya. Mereka tidak ingat bahwa Indonesia saat bernama Nusantara besar karena jasa Islam. Tidak ada Indonesia bila tidak ada Nusantara, tidak ada Nusantara bila tidak ada Islam di wilayah kepulan ini. Para intelektual lupa bahwa NKRI adalah desain mulai jaman kerajaan dahulu, walaupun terkotak dengan persatuan namun mereka memiliki perkumpulan dan persatuan kerajaan Islam bernama Nusantara. Nusantara hancur karena devide et impera oleh Portugis dan Belanda, kini berubah menjadi Indonesia yang usianya masih belum sepanjang Nusantara.
Para intelektual lupa bahwa liberlisme dan pluralisme menyebabkan kemunduran Indonesia di segala bidang, termasuk juga akhlak. Lihatlah Afi, pluralisme dan liberalismenya tinggi namun akhlaknya perlu dikoreksi kembali. Liberlisme dan Pluralisme yang menekankan kepada materialisme menyebabkan Afi hanyalah anak bermental kerupuk, mencontoh orang Bule yang sudah mati bunuh diri. Dengan kata-kata kasarnya, dia tidak tahan dibuli, hingga dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mana UGM??? Mana para Profesor, Psikolog, Dosen?? Mana para peneliti, mana pula pemerhati anak-anak stres dan depresi? Jangan salahkan yang membuli, namun mengapa anak gadis cantik ini tak tahan buli, padahal dahulu ayahandanya Fatimah Az-Zahra dibuli habis-habisan, dilempar kotoran saat sujud di depan Ka’bah, perlakuan yang keji dilontarkan kepada ayahnya di depan mata, namun apa yang ayahnya katakan? Ayahnya membesarkan hatinya dengan mengingat Allah.
Jadilah Fatimah seorang ibu yang melahirkan generasi sangat kuat dari bulian orang, bahkan Ali bin Abi Thalib dibuli orang khawarij, dikatakan kafir, murtad, dan sebagainya. Difitnah dan dibenturkan dengan Ibundanya sendiri dan juga dengan sahabatnya sendiri, namun tetap tegar dan hingga akhirnya gugur sebagai ksatria. Hasan, Husein Si Kembar yang akhirnya harus menghadapi ujian fitnah yang begitu dahsyat hingga berujung kepada pembunuhan oleh orang-orang yang mengaku pengikutnya namun berkhianat.
Apalah jadinya Afi bila ia menjadi seorang ibu, yang dirinya diperolok-olok dan dibuli masyarakat awam langsung keluar kata-kata kasar yang berbau seks yang biasa dilontarkan oleh orang-orang Barat yang tidak memperhatikan tata sopan santun. Apakah para intelektual masih mempertahankan barisan pluralisme dan liberalisme dengan mengorbankan gadis-gadis dan anak-anak macam seperti ini?
Kau kemanakan anak yang mampu menemukan arus listrik dengan kedondong? Mengapa tidak diundang di forum ilmiah UGM? Apakah ada mahasiswa UGM yang kepikiran demikian? Membuat arus listrik dengan buah kedondong? Mengapa tidak diundang anak-anak berprestasi yang membuat prototipe listrik dengan alat pel? Mengapa hanya sekelas agama warisan yang ternyata plagiator murni?
Fihak istana, mengapa simbol kenegaraan ini mengundang anak yang prestasinya hanya mampu copy/paste? Mengapa tidak diundang anak-anak yang menjadi rebutan intelektual luar negeri karena kecerdasan dan potensinya? Lagi-lagi saya mual dan mau muntah bila harus mengoreksi tingkah laku pemerintah di negeri ini. Penuh intrik, tipuan, serigala dan buaya menjadi satu.
Akhirnya:
AFI hanyalah korban ambisi orang-orang jahat yang mengatasnamakan liberlisme dan pluralisme. AFI hanyalah korban pertarungan orang-orang bergamis yang sibuk membenarkan manhajnya sendiri. AFI hanyalah korban orang-orang yang berfikir bahwa syurga hanya didapatkan dari ibadah. AFI hanyalah korban orang-orang yang ingin masuk syurga namun lupa mengajak saudaranya. AFI, hanyalah figur, simbul, tokoh fiktif yang akhirnya dibuang dan tidak lagi diperhatikan media. AFI adalah manusia baligh yang sudah tidak lagi dikatakan anak-anak yang menjadi korban buaya dan singa pluralisme dan liberalisme karena penggembala sibuk mencari taman, sedangkan kambing-kambingnya dibiarkan memakan tanaman milik orang lain.
Entahlah bagaimana nasib AFI, hanya Allah Yang Maha Tahu. Alhamdulillahirabbil ‘alamin.


[1] Penulis gunakan life, bukan live, karena lebih menekankan bahwa Islam adalah agama yang menjadikan kita sebagai tuntunan seumur hidup, hingga mati. Bukan hanya sekedar hidup.
[2] Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3502343/tulisan-siswi-sma-banyuwangi-soal-keberagaman-tuai-banyak-pujian.
[3] https://kumparan.com/salmah-muslimah/4-tulisan-Afi-yang-disebut-plagiat
[4] http://seleb.fajar.co.id/2017/06/01/mita-handayani-akhirnya-mengaku-itu-tulisannya-Afi-nihaya-ternyata-copy-paste/
[5] https://www.youtube.com/watch?v=c2ldE1XAKHE
[6] http://style.tribunnews.com/2017/07/08/heboh-tak-hanya-tulisan-video-curhatan-afi-nihaya-diduga-plagiat-amanda-todd.
[7]https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2017/05/profil-biodata-afi-nihaya-faradisa-faradisa-gadis-belia-yang-viral-di-facebook.html.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Suara Nada Islami

0 komentar:

Posting Komentar

Kolom Komentar

Livechat